Cartoons Myspace CommentsWELCOMEEEE!!!!
Lihat,, Baca,, n Komentarnya yah?? ^^v

Selasa, 27 Maret 2012

lagi pengen narsis

                                                                        haha,,narsisnya aq wwkwk

                                                                        my new LD haha,,(✿◠‿◠)

                                                       hasil edit,, \(‾▿‾\) \(´▽`)/ (/‾▿‾)/

Rabu, 14 Maret 2012

The Cognitive Procces Dimension


Dari data “ The Cognotive Procces Dimension” yang merupakan taksonomi Anderson, A.L. dan Krathwohl, maka didapatkan bahwa taksonomi Anderson dan Krathwohl terdiri dari 6 tahapan yaitu  mengingat (remember), mengerti (understand), memakai (apply), menganalisa (analyze), memberi nilai (valuate), dan create (menciptakan).
1.        Mengingat, mendapatkan kembali pengetahuan yang relefan dari ingatan terdahulu
1.1  Mengenali (mengidentifikasi), menemukan pengetahuan dalam ingatan jangka panjang yang cocok dengan bahan yang ada.
1.2  Memanggil kembali (mendapatkan kembali), mendapatkan kembali pengetahuan yang cocok dari ingatan jangka panjang.
Dalam kategori mengingat disini adalah proses mengenali/mengidentifikasi dan memanggil kembali suatu pengetahuan atau konsep yang pernah dipelajari atau telah dimiliki pada masa terdahulu. Proses mengingat ini didapat dari ingatan jangka panjang siswa yang kemudian akan dicocokkan dengan kondisi saat ini. Misalnya saja dalam mata pelajaran IPA di SMP siswa mempelajari tentang ekosistem lingkungan, pada saat SMA dalam mata pelajaran biologi siswa juga mempelajari kembali tentang ekosistem. Pada saat inilah proses mengingat kembali apa yang telah didapat pada masa lampau terjadi. Contoh lain adalah ketika kita mempelajari sejarah. 

2.        Mengerti, membangun arti dari bahan pelajaran yang meliputi lisan, tulisan, dan komunikasi grafik
2.1  Menginterpretasi (klarifikasi, menceritakan, memperlihatkan, menterjemahkan),
2.2  Mencontohkan (ilustrasi, memudahkan)
2.3  Menggabungkan/mengklasifikasi (mengkategorikan, menjumlahkan)
2.4  Meringkas (abstrak, secara umum)
2.5  Menyimpulkan (memasukkan, menyisipkan, memprediksi)
2.6  Membandingkan (membedakan, memetakan, mencocokkan)
2.7  Menjelaskan (membangun contoh)
Dalam kategori mengerti disini, siswa mampu dalam mengklarifikasi, menceritakan apa yang telah dia peroleh, memberikan contoh sesuai dengan pemahamannya tentang suatu pengetahuan tertentu, mengkategorikan pengetahuan pada kategori-kategori tertentu, meringkas dan menyimpulkan atau memprediksi secara logis apa yang telah dia dapatkan dari informasi saat ini. Akhirnya siswa dapat membandingkan suatu objek dengan objek lain dan siswa mampu menjelaskan sebab-akibat dari suatu permasalahan atau informasi yang ada tersebut. Dari informasi-informasi yang telah didapat baik dari lisan, tulisan, atau melalui media siswa mampu berpikir dan mengolah pengetahuan apa yang telah ia dapat sehingga dia mampu mengkonstruksi sebab-akibat dari adanya informasi tadi.  Dari pemahaman ini diharapkan siswa mampu menemukan keterkaitan antara fakta-fakta yang ada dengan konsep.
3.        Memakai/ mengaplikasikan, membuang atau menggunakan prosedur dalam situasi yang ada
3.1  Membuang , mengaplikasikan prosedur untuk tugas yang familiar
3.2  Menerapkan (menggunakan), menggunakan prosedur untuk tugas yang tidak familiar
Pada kategori mengaplikasi ini, siswa dituntut untuk mampu menerapkan pengetahuan yang didapat dalam kehidupannya. Siswa juga akhirnya bisa membedakan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh dilakukan. Disini siswa dapat membuang prosedur/abstrasi (konsep, hukum, dalil, aturan) yang tidak relefan atau tidak cocok dengan keadaan sekarang atau menerapkan prosedur yang telah dia ketahui yang cocok dengan keadaan sekarang atau diterapkan secara benar dalam situasi baru. Misalnya saja siswa SMA jurusan IPA tidak perlu mempelajari tentang perkembangan ekonomi saat ini, karena tidak cocok dengan jurusan atau program pendidikan yang telah dia pilih.
4.        Menganalisa, memecah materi kedalam unsur bagiannya dan menentukan  mana yang berhubungan dengan yang lainnya dan struktur atau tujuan keseluruhan
4.1  Membedakan (menyendirikan)
4.2  Mengorganisir (menemukan, menggabungkan, menguraikan, menstrukturkan)
4.3  Melengkapi (membangun kembali)
Dalam kategori ini siswa diharapkan mampu menganalisis hubungan atau situasi yang kompleks dari konsep-konsep yang ada. Siswa juga mampu menemukan, menggabungkan, menguraikan, maupun menstrukturkan sesuatu dalam kriteria yang telah ditetapkan. Karena menganalisa otomatis siswa dituntut untuk berpikir secara ilmiah dan mampu mengkaitkan fakta dengan konsep maupun menentukan nilai dari sudut pandang yang berbeda dari bahan pengetahuan yang ada, sehingga ia memperoleh sesuatu yang sama dengan nilai yang berbeda.
5.        Mengevaluasi, membuat penilaian berdasarkan kriteria
5.1  Memeriksa (mengkoordinasi, mendeteksi, mengawasi, menguji)
5.2  Mengkritik (menilai)
Didalam kategori mengevaluasi ini, adalah penilaian terhadap kemampuan dan sejauh mana siswa paham terhadap suatu pengetahuan yang ada dan mampu menerapkannya dengan benar. Selain itu evaluasi disini juga bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menilai suatu kasus yang diberikan kepadanya, dan bagaimana dia menyelesaikannya. Dalam kategori  ini ada sub bab memeriksa, maksudnya adalah mengawasi dan menguji seberapa besar kemampuan siswa dalam ranah kognitif maupun afektif. Di sini siswa juga harus mampu menilai sesuatu dari kasus yang telah diberikan kepadanya dan mampu menyelesaikannya dengan cara yang tepat.
6.        Menciptakan, meletakkan elemen bersama-sama untuk membentuk suatu hubungan/ fungsi keseluruhan menjadi pola baru
6.1  Menghasilkan (membangun dugaan)
6.2  Merencanakan (merancang)
6.3  Memproduksi (membangun)
Kategori yang terakhir adalah menciptakan, disini siswa diharapkan mampu membuat hipotesis terhadap suatu peristiwa dan merencanakan suatu perlakuan dan akhirnya mampu menemukan atau menciptakan suatu hasil akhir, seperti misalnya dengan siswa belajar maka dapat menciptakan suatu perubahan tingkah laku dari yang tidak bisa menjadi bisa atau tidak mampu menjadi mampu atau juga bisa berupa perubahan tingkah laku. Atau contoh kongkritnya Ani mendapat nilai jelek saat ulangan geografi karena dia jarang membaca buku, dia berpikir bahwa cara belajarnya yang salah dan membuat rencana belajar untuk ulangan berikutnya dengan rajin membaca buku geografi. Dan karena kesungguhannya maka saat ada ulangan geografi kembali dia mampu mendapat nilai yang bagus.
Jika dibandingkan dengan taksonomi dari Bloom maka kita dapatkan:
Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom

(Lama)
C1

(pengetahuan)
C2

(Pemahaman)
C3

(Aplikasi)
C4

(Analisis)
C5

(Sintesis)
C6

(Evaluasi)

Adapun isi dari Taksonomi Revisi (Anderson, L.W & Krathwohl, D.R.: 2001) adalah:
Taksonomi Revisi

(Baru)
C1

(Mengingat)
C2

(Memahami)
C3

(Mengaplikasikan)
C4

(Menganalisis)
C5

(Mengevaluasi)
C6

(Mencipta)
Dari tabel diatas dapat dilihat perbedaan yaitu pada kategori C5 dan C6 yaitu sintesis-evaluasi dan evaluasi-mencipta. Sedangkan pada C1 yaitu proses mengenal dan mengingat kembali pengetahuan yang telah didapat terdahulu untuk dicocokkan dengan kondisi sekarang adalah sama.
Untuk  C2  yaitu memahami ada sedikit penyempurna dalam taksonomi revisi, yaitu didalamnya ada proses menceritakan, mampu mencontohkan, menggabungkan, meringkas dan membandingkan apa yang telah didapat yang kemudian harus dipikirkan dan dipahami. Sedangkan milik Bloom hanya dipusatkan pada bagaimana siswa mampu memahami hubungan yang sederhana dari fakta dan konsep.
Untuk C3 yaitu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki terhadap suatu kasus yang diberikan oleh guru antara taksonomi Bloom dan taksonomi revisi pada intinya sama, yaitu siswa tidak hanya mengetahui saja terhadap suatu konsep namun juga mampu mempraktikkannya dalam situasi dan kondisi yang relefan.
Sedangkan pada C4 yaitu menganalisis, jika pada Bloom lebih ditekankan pada kemampuan siswa dalam menganalisis suatu hubungan dari situasi, sedangkan pada taksonomi revisi dari Anderson ada penambahan yaitu melibatkan kemampuan siswa dalam membeda-bedakan, mengorganisir dan melengkapi sesuatu yang telah ada. Siswa juga dilatih menilai sesuatu dari udut pandang yang berbeda, tidak hanya dari satu sisi saja.
Pada C5 dari taksonomi Bloom adalah sintesis yang artinya siswa harus mampu dalam menggabungkan dan menyusun kembali hal-hal spesifik agar dapat mengembangkan suatu struktur baru. Sedangkan pada taksonomi hasil revisi Anderson C5 adalah mengevaluasi apa yang telah siswa peroleh. Siswa tidak hanya dilihat sejauh mana kemampuannya dalam pengetahuan namun juga kemampuannya menilai kasus yang terjadi, sedangkan guru bisa memmonitori, mengawasi dan mengujinya.
Pada dimensi terakhir yaitu C6 jika pada taksonomi Bloom berisi evaluasi saja namun telah direvisi oleh Anderson yaitu meng-create yaitu menciptakan suatu struktur baru dari struktur lama yang dapat juga berupa suatu produk.seperti perubahan kebiasaan akibat suatu tujuan belajar terentu.
Pada Ranah kognitif di atas menunjukkan tingat kogtif dari tingkat satuan pendidikan. Pada sekolah Dasar (SD) tingkat kognitifnya hanya sampai C1 dan kadang mencapai C2. Pada Tingkat SMP tingkat kognitifnya sampai C3 dan pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi memenuhi kriteria penilaian terkait C1 sampai C6.  Jika harus memilih maka lebih sempurna pada taksonomi hasil revisi dari Anderson, karena pada tahapan terakhirnya adalah menciptakan suatu prosedur, produk atau struktur baru sebagai perwujudan dari proses mempelajari dan memahami. Hal ini sangat cocok jika diterapkan pada jenjang Perguruan Tinggi.

Sabtu, 03 Maret 2012

Pendidikan Multikultural


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI CARA NYATA MENGATASI KERUSUHAN SOSIAL YANG MEMBAWA
DAMPAK NEGATIF TERHADAP KETAHANAN
DAERAH DAN NASIONAL

Kerusuhan sosial
                Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.
                Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik.
            Akhir - akhir ini marak sekali terjadi kerusuhan sosial di berbagai daerah di wilayah Indonesia, hal ini merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculnya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.
            Kerusuhan yang sering terjadi di daerah-daerah seperti yang terjadi di Pekalongan ( 1995 ), Tasikmalaya (1996 ), Rengasdengklok ( 1997 ), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat ( 1996  1997) sampai yang terjadi di Ambon, Maluku dan Poso ( 1999-2007 ) adalah kerusuhan antar desa atau antar masyarakat. Kerusuhan sosial ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan sosial yang terjadi diantara masyarakat. Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Salah satu faktornya adalah  yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan.
                Ada benarnya juga jika ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang seringkali terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah “rahmah”, tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang mesti dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.
            Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang  yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso. Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosial-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan  bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang.
            Salah satu faktor terjadi kerusuhan sosial dilihat dari segi pendidikan adalah karena tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga masyarakat mudah sekali terpancing, terprovokasi oleh oknum tertentu, dan akhirnya timbullah kerusuhan-kerusuhan sosial. Pendidikan memang menjadi faktor penting bagi kelangsunga negara ini, jika mutu pendidikan saja tidak bisa diperbaiki, tidak mungkin tidak jika ketahan negara dapat terancam, karena rendahnya kualitas SDM yang ada. Perbedaan-perbedaan yang ada juga menjadi pemicu terhadap terjadinya kerusuhan sosial, seperti perbedaan ekonomi tiap daerah (yang menunjukkan ketidakadilan pemerintah terhadap pembangunan maupun kesejahteraan setiap daerah) maupun dalam bidang politik , dan lain-lain.
            Dampak yang amat jelas dari kerusuhan sosial ini adalah terancamnya keutuhan daerah dan NKRI  secara keseluruhan. Karena bagaimanapun juga daerah yang terlibat dalam kerusuhan ini pastinya tidak akan stabil lagi kondisinya. Bisa rusak dari segi pemerintahan maupun secara ekonomi. Jika sudah seperti ini bagaimana ketahanan daerah dapat dipertahankan. Dan apabila  banyak kerusuhan sosial yang terjadi bagaimana ketahan nasional dapat dipertahankan?.
Pendidikan Multikultural
            Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimana pengelolaannya, Pendidikan  salah satu jawaban utamanya.   Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan  jenjang pendidikan. Guru, dosen,  kurikulum, sarana- prasarana, silabus dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara.
            Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan, oleh karena itu negaralah yang harus menyediakan dan mendukung pembelajaran.  Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosial-Budaya Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.
            Dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat, melihat keberagaman yang ada sebagai keindahan tersendiri dan dapat menciptakan kebahagiaan. Oleh karena itu  perlu adanya upaya yang simultan  dilakukan agar konflik yang potensial tersebut  dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya.
            Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang “sadar budaya” semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami “gegar budaya”. Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan “gizi” tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah, tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami “kepribadian yang terbelah”, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika dihadapkan pada situasi yang saling kontradiktif.
            Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi manusia. Menurut beberapa ahli pendidikan multicultural adalah:
1.      Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur).
2.      Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya.
3.      Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa  pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plura
4.      Pendidikan multikultural adalah proses melalui mana pengembangan individu cara mengamati, evaluasi dalam berperilaku dalam sistem budaya, berbeda dari mereka sendiri (Gibson)
5.      Pendidikan Muticultural adalah pendekatan progresseve untuk mengubah pendidikan yang holistik kritik dan alamat kekurangan saat ini, kegagalan, dan praktik diskriminatif dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada cita-cita keadilan sosial, kesetaraan pendidikan, dan dedikasi untuk memfasilitasi pengalaman pendidikan di mana semua siswa mencapai potensi penuh mereka sebagai peserta didik dan makhluk secara sosial sadar dan aktif, secara lokal, nationall, dan global. Pendidikan Multicutural mengakui bahwa sekolah adalah essensial untuk meletakkan dasar transformasi foor masyarakat dan penghapusan dari penindasan dan keadilan.(Budianta)
6.      Multikultural pendidikan sebagai 'filsafat, metodologi untuk reformasi pendidikan "atau" hanya satu set bahan ajar dengan program pedagogis. " (Gay dalam Budianta)
            Dari beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa  multicultural education  sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan hak asasi manusia,  tidak adanya diskriminasi dan  diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan  seseorang  dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.
            Pendidikan multi-kultural  tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
            Kalimat menjadi warga negara yang demokratis  serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1)  Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
(2)  Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional.
Sejarah pendidikan multikultural di Indonesia
            Pendidikan multikultural lahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi. Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.
            Pada era Reformasi pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam. Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural.
            Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru disampikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya.
Pilar pendidikan
            Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hal. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :
(1) Learning to know (belajar untuk mengetahui);
(2) Learning to do (belajar untuk berbuat);
(3) Learning to live together, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama);
(4) Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang).
Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan  bahwa :
·         Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan  kesempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
·         Learning to do, untuk memperoleh  bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program  bergantian antara belajar dan bekerja.
·         Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian  akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
·         Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan  dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
            Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live together, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang  sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together,  masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasional dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya  sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah).
Dimensi pendidikan multikultural    
            Dimensi yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Implementasi pendidikan multikultural
            Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
            Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
            Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
            Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
            Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
            Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
            Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
            Dapat kita pikirkan bersama bahwa sebenarnya pendidikan di Indonesaia juga bertujuan untuk menjaga integrita, kesatuan dan ketahanan negara. Sehingga bila pilar ini(pendidikan) kuat maka ketahanan daerah maupun negara pasti  dapat dipertahankan. Dan untuk mempertahankannya tidak hanya cukup dengan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah saja untuk memajukan pendidikan di negara ini, namun juga dibutuhkan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat, sehingga pendidikan dapat maju, kualitas SDM meningkat, negara dapat berkembang dan maju, dilain pihak ketahanan dan keamanan negara dapat dipertahankan.