PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL SEBAGAI CARA NYATA MENGATASI KERUSUHAN SOSIAL YANG MEMBAWA
DAMPAK NEGATIF TERHADAP
KETAHANAN
DAERAH DAN NASIONAL
Kerusuhan sosial
Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi
huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah
tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi
tertentu. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri
dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan
strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh
perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika
perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman
untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus
diselesaikan.
Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung
potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan
etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi
timbulnya konflik.
Akhir - akhir ini marak sekali terjadi
kerusuhan sosial di berbagai daerah di wilayah Indonesia, hal ini merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam
masyarakat. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang
bernuansa SARA, serta munculnya
gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan
dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik
akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat
kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat
dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar
permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.
Kerusuhan yang sering terjadi di
daerah-daerah seperti yang terjadi di Pekalongan
( 1995 ), Tasikmalaya (1996 ), Rengasdengklok ( 1997 ), Sanggau Ledo,
Kalimantan Barat ( 1996 1997) sampai yang terjadi di Ambon, Maluku dan
Poso ( 1999-2007 ) adalah kerusuhan antar desa atau antar masyarakat. Kerusuhan sosial ini
dapat terjadi karena adanya kesenjangan sosial yang terjadi diantara
masyarakat. Kesenjangan
sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah
dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan
yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat
menghambat. Salah satu
faktornya adalah yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor
internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan
(keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya
kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai
kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya,
nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai
daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan.
Ada
benarnya juga jika ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang seringkali terjadi di negeri ini
merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap
perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah “rahmah”, tetapi
justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya
sikap fanatisme
sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang mesti
dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas
yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu
apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak
mereka sadari.
Perbedaan-perbedaan kepentingan,
pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang
kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi
tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang
mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar
kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja
konflik Ketapang yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta,
Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso. Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan
yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok,
golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa
sosial-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang.
Salah
satu faktor terjadi kerusuhan sosial dilihat dari segi pendidikan adalah karena
tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga masyarakat mudah sekali
terpancing, terprovokasi oleh oknum tertentu, dan akhirnya timbullah
kerusuhan-kerusuhan sosial. Pendidikan memang menjadi faktor penting bagi
kelangsunga negara ini, jika mutu pendidikan saja tidak bisa diperbaiki, tidak
mungkin tidak jika ketahan negara dapat terancam, karena rendahnya kualitas SDM
yang ada. Perbedaan-perbedaan yang ada juga menjadi pemicu terhadap terjadinya
kerusuhan sosial, seperti perbedaan ekonomi tiap daerah (yang menunjukkan
ketidakadilan pemerintah terhadap pembangunan maupun kesejahteraan setiap
daerah) maupun dalam bidang politik , dan lain-lain.
Dampak yang amat jelas dari kerusuhan
sosial ini adalah terancamnya keutuhan daerah dan NKRI secara keseluruhan. Karena bagaimanapun juga
daerah yang terlibat dalam kerusuhan ini pastinya tidak akan stabil lagi
kondisinya. Bisa rusak dari segi pemerintahan maupun secara ekonomi. Jika sudah
seperti ini bagaimana ketahanan daerah dapat dipertahankan. Dan apabila banyak kerusuhan sosial yang terjadi
bagaimana ketahan nasional dapat dipertahankan?.
Pendidikan Multikultural
Seperti
telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan
paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang
menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimana
pengelolaannya, Pendidikan salah satu jawaban utamanya. Proses
pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di
seluruh tingkatan jenjang pendidikan. Guru, dosen, kurikulum,
sarana- prasarana, silabus dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses
pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara.
Negara
adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan, oleh karena itu negaralah yang harus
menyediakan dan mendukung pembelajaran. Untuk
membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya
penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa
Indonesia, Sosial-Budaya Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn),
Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus
diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata
pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih
cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman
masyarakat bangsa Indonesia.
Dibutuhkan
pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga
generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat, melihat
keberagaman yang ada sebagai keindahan tersendiri dan dapat menciptakan
kebahagiaan. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang simultan
dilakukan agar konflik yang potensial tersebut dikelola secara seksama ,
baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak
kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang
terjadi di dalamnya.
Salah
satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan
yang “sadar budaya”
semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural
di sekolah. Di
tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang
bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan
multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi
Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami “gegar budaya”. Pada satu
sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak
pernah berhenti mendapatkan asupan “gizi” tentang nilai-nilai keluhuran
budi dan akhlakul karimah, tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak
bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial,
kerusuhan, dan kekerasan
yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami “kepribadian
yang terbelah”, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika
dihadapkan pada situasi yang saling kontradiktif.
Pendidikan
multikultural adalah merupakan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait
dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi
dan hak asasi manusia. Menurut
beberapa ahli pendidikan multicultural adalah:
1.
Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang
peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran
kepercayaam) dan budaya (kultur).
2.
Secara lebih singkat Andersen dan
Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan
mengenai keragaman budaya.
3.
Musa Asy’ari juga menyatakan
bahwa pendidikan multikultural adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman
budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plura
4.
Pendidikan
multikultural adalah proses melalui mana pengembangan individu cara mengamati,
evaluasi dalam berperilaku dalam sistem budaya, berbeda
dari mereka sendiri (Gibson)
5.
Pendidikan Muticultural adalah pendekatan
progresseve untuk mengubah pendidikan yang holistik kritik dan alamat kekurangan
saat ini, kegagalan, dan praktik diskriminatif dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada cita-cita keadilan sosial, kesetaraan pendidikan, dan dedikasi untuk memfasilitasi pengalaman pendidikan di mana semua siswa mencapai potensi penuh mereka sebagai peserta didik dan makhluk secara sosial sadar dan aktif, secara lokal, nationall,
dan global. Pendidikan Multicutural mengakui bahwa
sekolah adalah essensial untuk meletakkan dasar
transformasi foor masyarakat dan penghapusan dari penindasan dan keadilan.(Budianta)
6.
Multikultural pendidikan sebagai 'filsafat,
metodologi untuk reformasi pendidikan
"atau" hanya satu set bahan ajar dengan program pedagogis. " (Gay dalam Budianta)
Dari
beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa multicultural education
sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya
pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan
diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural
ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan
kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.
Pendidikan
multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas,
antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.”
Kalimat
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab menunjukkan
adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam
pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1) Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang
sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam
pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan
multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka
terciptanya integrasi nasional.
Sejarah pendidikan multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural
lahir sejak 30 silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak
negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi. Pandangan
multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum
dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki
makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya
dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru
menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut.
Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat
bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk
mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan
sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan
Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.
Pada era Reformasi
pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang
memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain
pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan
agama sangat beranekaragam. Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga
menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari
bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau
kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat
dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural.
Pendidikan
multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia
belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru
disampikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama
untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk
pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi
Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas
masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk
melaksanakannya.
Pilar pendidikan
Dalam
buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hal. 85-97)
mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :
(1)
Learning to know (belajar untuk mengetahui);
(2)
Learning to do (belajar untuk berbuat);
(3)
Learning to live together, learning to live with others (belajar untuk hidup
bersama);
(4)
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang).
Dalam Pointers and
Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan bahwa :
·
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan
untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Pilar ini
juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga
memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan
sepanjang hayat.
·
Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi
juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan
bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda
dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal,
sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan
kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
·
Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan
pengertian akan orang lain dan apresiasi atas
interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
·
Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu
bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi
yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan
keterampilan berkomunikasi.
Dari
keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live
together, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan
merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga
menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan
supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang
lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan
mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila
proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know,
lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live
together, masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan
manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya
kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa
nasional dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik
nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah).
Dimensi pendidikan multikultural
Dimensi
yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi,
konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan
empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar
siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni
topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam
dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen
kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan
berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar
siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999).
Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem
yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Implementasi pendidikan multikultural
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah
konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan
bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok
budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah
untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat
demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan
komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan
masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam
implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang
pada prinsip-prinsip berikut ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam
kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada
asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan
analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung
prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras,
budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan
antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan
dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa
aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam
struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi,
termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga,
harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup
pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi
anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak
agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di
Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun
juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga.
Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam
sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU
maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini
tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat
diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar
atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan
multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi,
pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang
berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan,
ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah
Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out
Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah
pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti
PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran
yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan
sebagainya.
Dalam
Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui
pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive
multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras
suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini
dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai
institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling
efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi
terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang
lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan
terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan)
terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling
efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih
berkeadilan.
Dapat kita pikirkan bersama bahwa sebenarnya pendidikan di Indonesaia
juga bertujuan untuk menjaga integrita, kesatuan dan ketahanan negara. Sehingga
bila pilar ini(pendidikan) kuat maka ketahanan daerah maupun negara pasti dapat dipertahankan. Dan untuk
mempertahankannya tidak hanya cukup dengan program-program yang dilaksanakan
oleh pemerintah saja untuk memajukan pendidikan di negara ini, namun juga
dibutuhkan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat, sehingga pendidikan dapat
maju, kualitas SDM meningkat, negara dapat berkembang dan maju, dilain pihak
ketahanan dan keamanan negara dapat dipertahankan.